KRISIS MONETER INDONESIA
I.PENDAHULUAN
Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak awal Juli
1997, sementara ini telah
berlangsung hampir dua tahun dan telah berubah menjadi krisis ekonomi,
yakni
lumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang tutup
dan meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur. Memang krisis ini tidak
seluruhnya
disebabkan karena terjadinya krisis moneter saja, karena sebagian
diperberat oleh berbagai
musibah nasional yang datang secara bertubi-tubi di tengah kesulitan
ekonomi seperti
kegagalan panen padi di banyak tempat karena musim kering yang panjang dan
terparah
selama 50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara besar-besaran di
Kalimantan dan
peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan Mei 1998 lalu
dan
kelanjutannya.
Krisis moneter ini terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa
lalu
dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia (lihat World
Bank: Bab 2
dan Hollinger). Yang dimaksud dengan fundamental ekonomi yang kuat adalah
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, tingkat
pengangguran
relatif rendah, neraca pembayaran secara keseluruhan masih surplus meskipun
defisit neraca
berjalan cenderung membesar namun jumlahnya masih terkendali, cadangan
devisa masih
cukup besar, realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit
surplus. Lihat Tabel.
Namun di balik ini terdapat beberapa kelemahan struktural seperti peraturan
perdagangan
domestik yang kaku dan berlarut-larut, monopoli impor yang menyebabkan
kegiatan ekonomi
tidak efisien dan kompetitif. Pada saat yang bersamaan kurangnya
transparansi dan
kurangnya data menimbulkan ketidak pastian sehingga masuk dana luar negeri
dalam
jumlah besar melalui sistim perbankan yang lemah. Sektor swasta banyak
meminjam dana
dari luar negeri yang sebagian besar tidak di hedge. Dengan
terjadinya krisis moneter, terjadi
juga krisis kepercayaan. (Bandingkan juga IMF, 1997: 1). Namun semua
kelemahan ini masih
mampu ditampung oleh perekonomian nasional. Yang terjadi adalah, mendadak
datang
badai yang sangat besar, yang tidak mampu dbendung oleh tembok penahan yang
ada,
yang selama bertahun-tahun telah mampu menahan berbagai terpaan gelombang
yang
datang mengancam.
II. ISI
Perkembangan
Ekonomi Makro di Indonesia Sejak Tahun 1980-an.
Program
pembangunan bidang ekonomi di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1970-an
danmenunjukkan perkembangan yang pesat sejak tahun 1980-an. Pada masa itu
pemerintahmemberikan banyak kemudahan bagi para investor yang akan berinvestasi
di bidangkeuangan dan perbankan. Hingga pertengahan tahun 1990-an perekonomian
Indonesiaterlihat semakin kuat dan mulai terpandang di dunia internasional.
Dalam artikel ini akandibahas perkembangan ekonomi di Indonesia saat mulai
berkembang tahun 1980-an hinggaterjadinya krisis moneter pada tahun 1997.
Perkembangan Moneter Perbankan.
Krisis
moneter di Indonesia telah memporak-porandakan sektor keuangan yang
sebelumnyatengah berkembang pesat sejak tahun 1980-an. Dalam upaya pemulihan
sektor keuanganIndonesia, telah dilakukan restrukturisasi sistem moneter sejak
tahun 1998. Bentuk nyata restrukturisasi dilakukan dengan cara menyehatkan bank
dan memberikan independensikepada Bank Sentral. Meski telah menelan banyak
biaya dan telah dilaksanakan lebih daritiga tahun, namun proses penyehatan
sistem moneter belum menunjukkan tanda-tanda akanberakhir.
Kebijakan Moneter
Kondisi
ekonomi negara Indonesia pada masa orde baru sudah pernah memanas. Pada saat
itupemerintah melakukan kebijakan moneter berupa
contractionary
monetary policy
dan viceversa
Kebijakan tersebut
cukup efektif dalam menjaga stabilisasi ekonomi dan ongkos yangharus dibayar
relatif murah. Kebijakan moneter yang ditempuh saat ini berupa
open market operation
memerlukan
ongkos yang mahal. Kondisi ini diperparah dengan adanya kendalayang lebih besar,
yaitu pengaruh pasar keuangan internasional.
Kebijakan Fiskal.
Berdasarkan
AD/ART pemerintah negara Indonesia, sebagaimana yang dipublikasikan olehBI,
untuk semester pertama tahun anggaran 2000 terlihat bahwa telah terjadi defisit
anggaranyang disebabkan oleh peningkatan pengeluaran untuk subsidi dan
pembayaran bunga hutang.
Meski
sebenarnya terjadi peningkatan penerimaan, namun ternyata besarnya
peningkatanpenerimaan masih jauh lebih rendah dibanding peningkatan
pengeluaran.Dominasi kebijakan moneter dibanding kebijakan fiskal dan
deregulasi sektor riilmenyebabkan terjadinya kebijakan makro ekonomi yang tidak
seimbang.
Prospek
Ekonomi Jangka Pendek.
Ditinjau
dari aspek ekonomi makro, kinerja perekonomian bukan hanya dipengaruhi
olehfaktor-faktor internal, namun juga dari faktor eksternal. Kondisi ekonomi
sangat dipengaruhioleh kondisi politik dan keamanan dalam negeri. Untuk
beberapa tahun
A.
Krisis Moneter dan Faktor-Faktor Penyebabnya
Penyebab dari krisis ini bukanlah fundamental ekonomi Indonesia yang selama
ini
lemah, hal ini dapat dilihat dari data-data statistik di atas, tetapi
terutama karena utang
swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol
bukanlah sektor
rupiah dalam negeri, melainkan sektor luar negeri, khususnya nilai tukar
dollar AS yang
mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya1 .
Krisis yang berkepanjangan
ini adalah krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang sangat tajam, akibat
dari serbuan yang
mendadak dan secara bertubi-tubi terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh
temponya utang
swasta luar negeri dalam jumlah besar. Seandainya tidak ada serbuan
terhadap dollar AS
ini, meskipun terdapat banyak distorsi pada tingkat ekonomi mikro, ekonomi
Indonesia
tidak akan mengalami krisis. Dengan lain perkataan, walaupun distorsi pada
tingkat ekonomi
mikro ini diperbaiki, tetapi bila tetap ada gempuran terhadap mata uang
rupiah, maka krisis
akan terjadi juga, karena cadangan devisa yang ada tidak cukup kuat untuk
menahan
gempuran ini. Krisis ini diperparah lagi dengan akumulasi dari berbagai
faktor penyebab
lainnya yang datangnya saling bersusulan. Analisis dari faktor-faktor
penyebab ini penting,
karena penyembuhannya tentunya tergantung dari ketepatan diagnosa.
Anwar Nasution melihat besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar
negeri,
ditambah dengan lemahnya sistim perbankan nasional sebagai akar dari
terjadinya krisis
finansial (Nasution: 28). Bank Dunia melihat adanya empat sebab utama yang
bersamasama
membuat krisis menuju ke arah kebangkrutan (World Bank, 1998, pp. 1.7
-1.11). Yang
pertama adalah akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun
1992 hingga Juli
1997, sehingga l.k. 95% dari total kenaikan utang luar negeri berasal dari
sektor swasta ini,
dan jatuh tempo rata-ratanya hanyalah 18 bulan. Bahkan selama empat tahun
terakhir
utang luar negeri pemerintah jumlahnya menurun.
Berikut ini diberikan rangkuman dari berbagai faktor tersebut menurut
urutan kejadiannya:
1) Dianutnya sistim devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang
memadai,
memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk secara bebas
berapapun jumlahnya. Kondisi di atas dimungkinkan, karena Indonesia
menganut rezim
devisa bebas dengan rupiah yang konvertibel, sehingga membuka peluang yang
sebesarbesarnya
untuk orang bermain di pasar valas.
2) Tingkat depresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2,4%
(1993) hingga 5,8%
(1991) antara tahun 1988 hingga 1996, yang berada di bawah nilai tukar
nyatanya,
menyebabkan nilai rupiah secara kumulatif sangat overvalued.
Ditambah dengan kenaikan
pendapatan penduduk dalam nilai US dollar yang naiknya relatif lebih cepat
dari
kenaikan pendapatan nyata dalam Rupiah, dan produk dalam negeri yang makin
lama
makin kalah bersaing dengan produk impor.
3) Akar dari segala permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka
pendek dan
menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena
tidak tersedia
cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya
(bandingkan
juga Wessel et al.: 22), ditambah sistim perbankan nasional yang lemah.
Akumulasi
utang swasta luar negeri yang sejak awal tahun 1990-an telah mencapai
jumlah yang
sangat besar, bahkan sudah jauh melampaui utang resmi pemerintah yang
beberapa
tahun terakhir malah sedikit berkurang (oustanding official debt).
4) Permainan yang dilakukan oleh spekulan asing (bandingkan juga Ehrke:
2-3) yang dikenal
sebagai hedge funds tidak mungkin dapat dibendung dengan melepas
cadangan devisa
yang dimiliki Indonesia pada saat itu, karena praktek margin trading, yang
memungkinkan
dengan modal relatif kecil bermain dalam jumlah besar. Dewasa ini mata uang
sendiri
sudah menjadi komoditi perdagangan, lepas dari sektor riil.
5) Kebijakan fiskal dan moneter tidak konsisten dalam suatu sistim nilai
tukar dengan pita
batas intervensi. Sistim ini menyebabkan apresiasi nyata dari nilai tukar
rupiah dan
mengundang tindakan spekulasi ketika sistim batas intervensi ini dihapus
pada tanggal
14 Agustus 1997 (Nasution: 2). Terkesan tidak adanya kebijakan pemerintah
yang jelas
dan terperinci tentang bagaimana mengatasi krisis (Nasution: 1) dan keadaan
ini masih
berlangsung hingga saat ini. Ketidak mampuan pemerintah menangani krisis
menimbulkan krisis kepercayaan dan mengurangi kesediaan investor asing
untuk
memberi bantuan finansial dengan cepat (World Bank, 1998: 1.10).
6) Defisit neraca berjalan yang semakin membesar (IMF Research Department
Staff: 10; IDE),
yang disebabkan karena laju peningkatan impor barang dan jasa lebih besar
dari ekspor
dan melonjaknya pembayaran bunga pinjaman. Sebab utama adalah nilai tukar
rupiah
yang sangat overvalued, yang membuat harga barang-barang impor
menjadi relatif murah
dibandingkan dengan produk dalam negeri.
7) Penanam modal asing portfolio yang pada awalnya membeli saham
besar-besaran dimingimingi
keuntungan yang besar yang ditunjang oleh perkembangan moneter yang relatif
stabil kemudian mulai menarik dananya keluar dalam jumlah besar. Selisih tingkat suku bunga dalam negeri dengan
luar negeri yang besar dan kemungkinan memperoleh keuntungan yang relatif
besar
dengan cara bermain di bursa efek, ditopang oleh tingkat devaluasi yang
relatif stabil
sekitar 4% per tahun sejak 1986 menyebabkan banyak modal luar negeri yang
mengalir
masuk.
8) IMF tidak membantu sepenuh hati dan terus menunda pengucuran dana
bantuan yang
dijanjikannya dengan alasan pemerintah tidak melaksanakan 50 butir
kesepakatan
dengan baik. Negara-negara sahabat yang menjanjikan akan membantu Indonesia
juga
menunda mengucurkan bantuannya menunggu signal dari IMF, padahal keadaan
perekonomian Indonesia makin lama makin tambah terpuruk
9) Spekulan domestik ikut bermain (Wessel et al., hal.
22). Para spekulan inipun tidak
semata-mata menggunakan dananya sendiri, tetapi juga meminjam dana dari
sistim
perbankan untuk bermain.
10)Terjadi krisis kepercayaan dan kepanikan yang
menyebabkan masyarakat luas menyerbu
membeli dollar AS agar nilai kekayaan tidak merosot dan malah bisa menarik
keuntungan
dari merosotnya nilai tukar rupiah. Terjadilah snowball effect, di
mana serbuan terhadap
dollar AS makin lama makin besar. Orang-orang kaya Indonesia, baik pejabat
pribumi
dan etnis Cina, sudah sejak tahun lalu bersiap-siap menyelamatkan harta
kekayaannya
ke luar negeri mengantisipasi ketidak stabilan politik dalam negeri.
Program Reformasi Ekonomi IMF
Menurut IMF, krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia disebabkan
karena
pemerintah baru meminta bantuan IMF setelah rupiah sudah sangat
terdepresiasi. Strategi
pemulihan IMF dalam garis besarnya adalah mengembalikan kepercayaan pada
mata uang,
yaitu dengan membuat mata uang itu sendiri menarik. Inti dari setiap
program pemulihan
ekonomi adalah restrukturisasi sektor finansial. (Fischer 1998b). Sementara
itu pemerintah
Indonesia telah enam kali memperbaharui persetujuannya dengan IMF, Second
Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) tanggal
24 Juni,
kemudian 29 Juli 1998, dan yang terakhir adalah review yang keempat,
tanggal 16 Maret 1999.
Program bantuan IMF pertama ditanda-tangani pada tanggal 31 Oktober 1997.
Program reformasi ekonomi yang disarankan IMF ini mencakup empat bidang:
1. Penyehatan sektor keuangan;
2. Kebijakan fiskal;
3. Kebijakan moneter;
4. Penyesuaian struktural.
Untuk menunjang program ini, IMF akan mengalokasikan stand-by credit sekitar
US$
11,3 milyar selama tiga hingga lima tahun masa program. Sejumlah US$ 3,04
milyar dicairkan
segera, jumlah yang sama disediakan setelah 15 Maret 1998 bila program
penyehatannya
telah dijalankan sesuai persetujuan, dan sisanya akan dicairkan secara
bertahap sesuai
kemajuan dalam pelaksanaan program. Dari jumlah total pinjaman tersebut,
Indonesia
sendiri mempunyai kuota di IMF sebesar US$ 2,07 milyar yang bisa
dimanfaatkan. (IMF,
1997: 1)
penghasilannya.
2. Mengingat pula bahwa lamanya waktu pemrosesan kredit juga berpengaruh
cukup
kuat kepada kinerja, maka keputusan pemberian kredit kepada peminjam baru
hendaknya dilakukan sesegera mungkin, sedangkan pemrosesan kredit ulangan
hendaknya dapat diselesaikan pada hari yang sama.
3. Pengawas BPR hendaknya tidak melihat pemberian kredit dalam jumlah
kecil-kecil
pada LKM sebagai suatu hal yang “tidak efisien” atau “tidak maju”, karena
hal itu
justru sesuai dengan misi LKM membantu pengentasan kemiskinan. Mendorong
LKM
untuk memberikan kredit dalam jumlah yang semakin besar berarti menjauhkan
LKM
dari nasabahnya yang miskin, seperti terlihat pada gejala pemberian kredit
BKK di atas.
4. BKD telah beroperasi selama satu abad dan BKK selama hampir tiga
dasawarsa dengan
pendekatan pasar yang telah membuat mereka lestari (sustainable) dan
mandiri,
keadaannya justru dibuat seperti “telor di ujung tanduk” karena banyaknya
programprogram
kredit murah bersubsidi di perdesaan. Adanya kredit dari pemerintah untuk
BPR condong menguntungkan BPR Gaya Baru yang dimiliki para pemodal berdasi,
Kinerja Lembaga Keuangan Mikro dan Perilaku Masyarakat Pedesaan 53
memungkinkan mereka menurunkan sukubunga kreditnya sehingga menambah
pesaing
bagi LKM. Di era reformasi ini pemerintah seyogianya lebih membina semangat
keswadayaan masyarakat dan tidak menggunakan program-program kredit murah
sebagai alat politik karena merusak moralitas masyarakat perdesaan yang
masih jujur
seperti terbukti dari perilakunya terhadap LKM.
dering, Annual Report.
B.
Program
Reformasi Ekonomi IMF
Menurut IMF, krisis ekonomi yang
berkepanjangan di Indonesia disebabkan karena pemerintah baru meminta bantuan
IMF setelah rupiah sudah sangat terdepresiasi. Strategi pemulihan IMF dalam
garis besarnya adalah mengembalikan kepercayaan pada mata uang, yaitu dengan
membuat mata uang itu sendiri menarik. Inti dari setiap program pemulihan
ekonomi adalah restrukturisasi sektor finansial. (Fischer 1998b). Sementara itu
pemerintah Indonesia telah enam kali memperbaharui persetujuannya dengan IMF,
Second Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP)
tanggal 24 Juni, kemudian 29 Juli 1998, dan yang terakhir adalah review yang
keempat, tanggal 16 Maret 1999. Program bantuan IMF pertama ditanda-tangani
pada tanggal 31 Oktober 1997. Program reformasi ekonomi yang disarankan IMF ini
mencakup empat bidang:
- Penyehatan sektor keuangan;
- Kebijakan fiskal;
- Kebijakan moneter;
- Penyesuaian struktural.
Untuk menunjang program ini, IMF
akan mengalokasikan stand-by credit sekitar US$ 11,3 milyar selama tiga hingga
lima tahun masa program. Sejumlah US$ 3,04 milyar dicairkan segera, jumlah yang
sama disediakan setelah 15 Maret 1998 bila program penyehatannya telah
dijalankan sesuai persetujuan, dan sisanya akan dicairkan secara bertahap
sesuai kemajuan dalam pelaksanaan program. Dari jumlah total pinjaman tersebut,
Indonesia sendiri mempunyai kuota di IMF sebesar US$ 2,07 milyar yang bisa
dimanfaatkan. (IMF, 1997: 1). Di samping dana bantuan IMF, Bank Dunia, Bank
Pembangunan Asia dan negaranegara sahabat juga menjanjikan pemberian bantuan
yang nilai totalnya mencapai lebih kurang US$ 37 milyar (menurut Hartcher dan
Ryan). Namun bantuan dari pihak lain ini dikaitkan dengan kesungguhan
pemerintah Indonesia melaksanakan program-program yang diprasyaratkan IMF.
Karena dalam beberapa hal program-program yang diprasyaratkan IMF oleh pihak
Indonesia dirasakan berat dan tidak mungkin dilaksanakan, maka dilakukanlah
negosiasi kedua yang menghasilkan persetujuan mengenai reformasi ekonomi
(letter of intent) yang ditanda-tangani pada tanggal 15 Januari 1998, yang
mengandung 50 butir. Saransaran IMF diharapkan akan mengembalikan kepercayaan
masyarakat dengan cepat dan kurs nilai tukar rupiah bisa menjadi stabil (butir
17 persetujuan IMF 15 Januari 1998). Pokokpokok dari program IMF adalah sebagai
berikut:
A. Kebijakan
makro-ekonomi
- Kebijakan fiskal
- Kebijakan moneter dan nilai tukar
B.
Restrukturisasi sektor keuangan
- Program restrukturisasi bank
- Memperkuat aspek hukum dan pengawasan untuk perbankan
C. Reformasi
struktural
- Perdagangan luar negeri dan investasi
- Deregulasi dan swastanisasi
- Social safety net
- Lingkungan hidup.
Setelah pelaksanaan reformasi kedua
ini kembali menghadapi berbagai hambatan, maka diadakanlah negosiasi ulang yang
menghasilkan supplementary memorandum pada tanggal 10 April 1998 yang terdiri
atas 20 butir, 7 appendix dan satu matriks. Cakupan memorandum ini lebih luas
dari kedua persetujuan sebelumnya, dan aspek baru yang masuk adalah
penyelesaian utang luar negeri perusahaan swasta Indonesia. Jadwal pelaksanaan
masing-masing program dirangkum dalam matriks komitmen kebijakan struktural.
Strategi yang akan dilaksanakan adalah:
- menstabilkan rupiah pada tingkat yang sesuai dengan kekuatan ekonomi Indonesia;
- memperkuat dan mempercepat restrukturisasi sistim perbankan;
- memperkuat implementasi reformasi struktural untuk membangun ekonomi yang efisien dan berdaya saing;
- menyusun kerangka untuk mengatasi masalah utang perusahaan swasta;
- kembalikan pembelanjaan perdagangan pada keadaan yang normal, sehingga ekspor bisa bangkit kembali.
Ke tujuh appendix adalah
masing-masing:
- Kebijakan moneter dan suku bunga
- Pembangunan sektor perbankan
- Bantuan anggaran pemerintah untuk golongan lemah
- Reformasi BUMN dan swastanisasi
- Reformasi struktural
- Restrukturisasi utang swasta
- Hukum Kebangkrutan dan reformasi yuridis.
Prioritas utama dari program IMF ini
adalah restrukturisasi sektor perbankan. Pemerintah akan terus menjamin
kelangsungan kredit murah bagi perusahaan kecilmenengah dan koperasi dengan
tambahan dana dari anggaran pemerintah (butir 16 dan 20 dari Suplemen). Awal
Mei 1998 telah dilakukan pencairan kedua sebesar US$ 989,4 juta dan jumlah yang
sama akan dicairkan lagi berturut-turut awal bulan Juni dan awal bulan Juli,
bila pemerintah dengan konsekuen melaksanakan program IMF. Sementara itu Menko
Ekuin/ Kepala Bappenas menegaskan bahwa “Dana IMF dan sebagainya memang tidak
kita gunakan untuk intervensi, tetapi untuk mendukung neraca pembayaran serta
memberi rasa aman, rasa tenteram, dan rasa kepercayaan terhadap perekonomian bahwa
kita memiliki cukup devisa untuk mengimpor dan memenuhi kewajiban-kewajiban
luar negeri” (Kompas, 6 Mei 1998). Pencairan berikutnya sebesar US$ 1 milyar
yang dijadwalkan awal bulan Juni baru akan terlaksana awal bulan September ini.
C. Kritik
Terhadap IMF
Banyak kritik yang dilontarkan oleh
berbagai pihak ke alamat IMF dalam hal menangani krisis moneter di Asia, yang
paling umum adalah bahwa: (1) program IMF terlalu seragam, padahal masalah yang
dihadapi tiap negara tidak seluruhnya sama; dan (2) program IMF terlalu banyak
mencampuri kedaulatan negara yang dibantu (Fischer, 1998b). Radelet dan Sachs
secara gamblang mentakan bahwa bantuan IMF kepada tiga negara Asia (Thailand,
Korea dan Indonesia) telah gagal. Setelah melihat program penyelematan IMF di
ketiga negara tersebut, timbul kesan yang kuat bahwa IMF sesungguhnya tidak
menguasai permasalahan dari timbulnya krisis, sehingga tidak bisa keluar dengan
program penyelamatan yang tepat. Salah satu pemecahan standar IMF adalah
menuntut adanya surplus dalam anggaran belanja negara, padahal dalam hal
Indonesia anggaran belanja negara sampai dengan tahun anggaran 1996/1997 hampir
selalu surplus, meskipun surplus ini ditutup oleh bantuan luar negeri resmi
pemerintah. Adalah kebijakan dari Orde Baru untuk menjaga keseimbangan dalam
anggaran belanja negara, dan prinsip ini terus dipegang. Selama ini tidak ada
pencetakan uang secara besar-besaran untuk menutup anggaran belanja negara yang
defisit, dan tidak ada tingkat inflasi yang melebihi 10%. Memang dalam anggaran
belanja negara tahun 1998/1999 terdapat defisit anggaran yang besar, namun ini
bukan disebabkan karena kebijakan deficit financing dari pemerintah, tetapi
oleh karena nilai tukar rupiah yang terpuruk terhadap dollar AS. Semakin jatuh
nilai tukar rupiah, semakin besar defisit yang terjadi dalam anggaran belanja.
Karena itu pemecahan utamanya adalah bagaimana mengembalikan nilai tukar rupiah
ke tingkat yang wajar.
Anwar Nasution mengkritik bahwa
reformasi ekonomi yang disarankan IMF bentuknya masih samar-samar. Tidak ada
penjelasan rinci, bagaimana caranya untuk meningkatkan penerimaan pemerintah
dan mengurangi pengeluaran pemerintah untuk mencapai sasaran surplus anggaran
sebesar 1% dari PDB dalam tahun fiskal 1998/99, dan bagaimana ingin dicapai sasaran
pertumbuhan ekonomi sebesar 3%. Harapan satu-satunya adalah peningkatan ekspor
non-migas, namun kelemahan utama dari IMF adalah tidak ada program yang jelas
untuk meningkatkan efisiensi dan menurunkan biaya produksi untuk mendorong
ekspor non-migas. (Nasution: 27-28).
Penasehat khusus IMF untuk Indonesia
(P.R. Narvekar) sendiri juga dikutip sebagai mengatakan bahwa “IMF kerap
menerapkan standar ganda dalam pengambilan keputusan. Di satu pihak, perwakilan
IMF mewakili negara dan pemerintahan dengan kebijakan dan visi politik
masing-masing, sementara keputusan yang diambil harus mengacu pada fakta
konkret ekonomi. Karenanya, ada saja peluang bahwa tudingan atas pelanggaran
hak asasi manusia di Indonesia yang makin marak belakangan ini, menjadi hal yang
disoroti Dewan Direktur IMF dalam pengambilan keputusannya pekan depan”.
Demikianpun halnya dengan Bank Dunia. (Kompas, 2 Mei 1998).
Saran IMF untuk menstabilkan nilai
tukar adalah dengan menerapkan kebijakan uang ketat, menaikkan suku bunga dan
mengembalikan kepercayaan terhadap kebijakan ekonomi, dari waktu ke waktu
mengadakan intervensi terbatas di pasar valas dengan petunjuk IMF (lihat butir
14, 16, 17, 21 dari persetujuan 15 Januari 1998; butir 5, 7 dari Suplemen).
Sayangnya tidak ada program khusus yang secara langsung ditujukan untuk
menguatkan kembali nilai tukar rupiah, juga tidak ada Appendix untuk masalah
ini. IMF tidak memecahkan permasalahan yang utama dan yang paling mendesak
secara langsung. IMF bisa saja terlebih dahulu mengambil kebijakan memprioritaskan
stabilisasi nilai tukar rupiah, kalau mau, dengan mencairkan dana bantuan yang
relatif besar pada bulan November lalu, yang didukung oleh bantuan dana dari
World Bank, Asian Development Bank dan negara-negara sahabat. Dengan demikian
timbulnya krisis kepercayaan yang berkepanjangan dapat dicegah. IMF sendiri
tampaknya tidak tahu apa yang harus dilakukannya dan berputarputar pada
kebijakan surplus anggaran, uang ketat, tingkat bunga tinggi, pembenahan sektor
riil yang memang perlu dan sudah sangat mendesak, dan titipan-titipan khusus
dari negaranegara maju yaitu membuka peluang investasi yang seluas-luasnya bagi
mereka dengan menggunakan kesempatan dalam kesempitan Indonesia.
Di lain pihak memang harus diakui
bahwa tekanan ini perlu untuk memastikan kesungguhan Indonesia, karena untuk
beberapa tindakan memang ada tanda-tanda kekurang sungguhan di pihak Indonesia.
Tidak adanya program dari IMF yang jelas dan berjangka pendek untuk
mengembalikan nilai tukar rupiah ke tingkat yang wajar dan menstabilkannya
membuat pemerintah cukup lama terombang-ambing antara memilih program IMF atau
currency board system, yang justru menjanjikan kepastian dan kestabilan nilai
tukar pada tingkat yang wajar.
Krisis ekonomi yang tengah
berlangsung ini memang bukan tanggung-jawab IMF dan tidak bisa dipecahkan oleh
IMF sendiri. Namun kekurangan yang paling utama dari IMF adalah bahwa IMF dalam
program bantuannya tidak mencari pemecahan terhadap masalah yang pokok dan
sangat mendesak ini dan berputar-putar pada reformasi struktural yang dampaknya
jangka panjang. Bila semua kekuatan bantuan ini dikumpulkan sekaligus secara
dini, maka hal ini dengan cepat akan memulihkan kembali kepercayaan masyarakat
dalam negeri dan internasional. Namun bantuan dana IMF dan ketergantungan harapan
pada IMF ini di(salah)gunakan untuk menekan pemerintah Indonesia untuk
melaksanakan reformasi struktural secara besar-besaran. Ibaratnya orang yang
sudah hampir tenggelam diombang-ambing ombak laut tidak segera ditolong dengan
dilempari pelampung, tapi disuruh belajar berenang dahulu.
Reformasi struktural sebagaimana
yang dianjurkan oleh IMF memang mendasar dan penting, tetapi dampak hasilnya
baru bisa dirasakan dalam jangka panjang, sementara pemecahan masalahnya sudah
sangat mendesak, di mana makin ditunda makin banyak perusahaan yang jatuh
bergelimpangan. Banyak perusahaan yang mengandalkan pasaran dalam negeri tidak
bisa menjual barang hasil produksinya karena perusahaan-perusahaan ini umumnya
memiliki kandungan impor yang tinggi dan harga jualnya menjadi tidak terjangkau
dengan semakin jatuhnya nilai tukar rupiah. Jadi, utang luar negeri swasta dan
nilai tukar rupiah yang merosot jauh dari nilai riilnya adalah masalah-masalah
dasar jangka pendek, yang lama tidak disinggung oleh IMF. Di sini timbul
keragu-raguan akan kemurnian kebijakan reformasi IMF, sehingga timbul
teka-teki, apakah IMF benar-benar tidak melihat inti permasalahannya atau
berpura-pura tidak tahu? Atau IMF mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk
memaksakan perubahan-perubahan yang sudah lama menjadi duri di matanya dan bagi
Bank Dunia serta mewakili kepentingan-kepentingan asing? Tampaknya di balik
anjuran program pemulihan kegiatan ekonomi ada titipan-titipan politik dan
ekonomi dari negara-negara besar tertentu. Program reformasi IMF secara
mencurigakan mengulang kembali tuntutan-tuntutan deregulasi ekonomi yang sudah
sejak bertahun-tahun didengungkan oleh Bank Dunia dan belum sepenuhnya
dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia (lihat World Bank, 1996, bab 2;World
Bank, 1997, bab 4 dan 5).
Permintaan IMF untuk menghentikan
dengan segera perlakuan pembebasan pajak dan kemudahan kredit untuk proyek
mobil nasional dan IPTN adalah tepat, karena dalam jangka pendek proyek ini
akan mengacaukan kebijakan pemerintah di bidang fiskal, anggaran dan moneter
secara berarti. Juga saran IMF untuk menghapuskan subsidi BBM dan listrik yang
kian membesar secara bertahap dalam jangka waktu tiga tahun sudah benar.
Subsidi listrik relatif lebih mudah untuk dihapuskan, yakni melalui subsidi
silang sehingga masyarakat berpenghasilan rendah tetap dikenakan tarif listrik
yang murah dan melalui peningkatan efisiensi, misalnya penagihan yang lebih
efektif. Namun penurunan subsidi BBM dan listrik oleh pemerintah secara drastis
dan mendadak pada tanggal 4 Mei 1998 yang lalu mempunyai dampak yang sangat
luas terhadap perekonomian rakyat kecil, meskipun kepentingan rakyat kecil
sangat diperhatikan dengan adanya jaringan keselamatan sosial. Tindakan drastis
ini sedikit-banyak telah membantu memicu terjadinya kerusuhan-kerusuhan sosial
dan politik. Yang menjadi pertanyaan di sini adalah, apakah pemerintah tidak
bisa menunda kenaikan BBM dan listrik untuk beberapa bulan, menunggu keresahan
masyarakat reda? Di sini pemerintah salah membaca isi dari kesepakatan dengan IMF,
karena IMF menganjurkan penghapusan subsidi secara bertahap dan tidak secara
mendadak. Dalam suplemen program IMF April 1998 disebutkan bahwa subsidi masih
bisa diberikan kepada beberapa jenis barang yang banyak dikonsumsi oleh
penduduk berpenghasilan rendah seperti bahan makanan, BBM dan listrik. Dalam
situasi sekarang hampir tidak ada peluang untuk meningkatkan pajak. Baru pada
tanggal 1 Oktober 1998 direncanakan subsidi akan diturunkan secara berarti.
(butir 10 dan 11 dari Suplemen). Subsidi untuk bahan pangan, BBM dan listrik
sudah diperhitungkan dan dinaikkan dalam anggaran pemerintah (butir 20 dari
Suplemen). Membengkaknya subsidi ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti
kinerja yang kurang efisien, tagihan listrik dalam jumlah besar yang tidak
dibayar, tetapi sebab utama karena merosotnya nilai tukar rupiah. Jadi tindakan
yang pokok adalah pertama mengembalikan dulu nilai rupiah ke tingkat yang wajar
dan dari sini baru menghitung besarnya subsidi. Tidak bisa biaya produksi
dihitung atas dasar nilai tukar dengan dollar AS yang masih relatif tinggi lalu
dibebankan kepada konsumen, sementara pendapatan masyarakat adalah dalam rupiah
yang tidak berubah sejak sebelum terjadinya krisis moneter, kalau tidak menurun
dan banyaknya PHK. Keadaan ini tidak sebanding, kita harus melihat sebab-sebab
lain di balik kenaikan biaya produksi. Halnya akan lain, bila pendapatan
masyarakat dalam rupiah juga ikut naik dua atau tiga kali lipat sesuai dengan
kenaikan nilai tukar dollar AS, seperti orang asing yang tinggal di Indonesia
misalnya.
Dalam kaitan ini perlu
dipertanyakan, siapa yang menjadi penyebab dari terjadinya krisis yang
berkepanjangan ini, sehingga nilai tukar valas naik sangat tinggi dan siapa
yang menarik keuntungan dari krisis ini? Janganlah rakyat banyak diminta untuk
berkorban mengatasi krisis ini atau membebankan di atas penderitaan rakyat
dengan misalnya menaikkan harga BBM dan tarif listrik.
Di antara saran-saran IMF juga ada
yang mengenai perluasan penyertaan modal asing dalam kegiatan ekonomi Indonesia
yang terlalu jauh. Modal asing sudah diberi peluang yang cukup besar untuk
investasi di Indonesia dengan diperbolehkannya kepemilikan hingga 100% baik
untuk pendirian PMA, bank asing maupun penguasaan saham dari
perusahaan-perusahaan yang telah go public, kecuali saham bank nasional yang go
public. Meskipun demikian IMF masih meminta dihapuskannya larangan membuka
cabang bagi bank asing, izin investasi di bidang perdagangan besar dan eceran,
dan liberalisasai perdagangan yang jauh lebih liberal dari komitmen resmi
pemerintah di forum WTO, AFTA dan APEC. Masalahnya bukan sentimen nasionalisme,
tetapi apa sumbangan dari keterbukaan ini terhadap restrukturisasi ekonomi dari
program IMF, stabilisasi ekonomi dan moneter, dan apa sumbangannya terhadap pemasukan
modal asing? Bukan masalah anti asing atau sentimen nasionalisme yang sempit,
tetapi apa salahnya bila pemerintah menyisakan bidang kegiatan untuk pengusaha
Indonesia, terutama yang bermodal kecil? Apa permintaan IMF ini tidak terlalu
jauh? Kedengarannya seperti IMF menerima titipan pesan sponsor dari
negara-negara besar yang ingin memaksakan kepentingannya dengan menggunakan
kesempatan dalam kesempitan. (Bandingkan juga Sri Mulyani: 72-3).
Saran IMF lainnya yang disisipkan
dalam persetujuan dan tidak ada kaitannya dengan program stabilisasi ekonomi
dan moneter adalah desakannya untuk menyusun Undang- Undang Lingkungan Hidup
yang baru (butir 50 dari persetujuan IMF tanggal 15 Januari 1998).
Ikut campurnya IMF dalam
penyelesaian utang swasta adalah sangat baik, karena IMF sebagai lembaga yang
disegani bisa banyak membantu memulihkan kepercayaan kreditor luar negeri, yang
akan memperlancar dan mempercepat proses penyelesaian utang. IMF bisa bertindak
sebagai perantara yang netral dan dipercaya.
Teori yang berkaitan
dengan masalah Moneter sering dikaitkan dengan teori kuantitas uang yang
beranggapan bahwa factor uang yang banyak mempengaruhi nilai uang adalah jumlah
uang yang beredar (quantity of money atau supply of money ).
Teori
kuantitas sederhana. Inti dari teori ini adalah perubahan harga komoditi akan
berbanding lurus dengan jumlah uang yang berdar.
Kuat dan
lemahnya nilai uang sangat bergantung daripada jumlah uang yang beredar. Jika
jumlah uang yang beredar menjadi 2x lipat maka nilai uang akan menurun setengah
kali dari semula, sebaliknya jika jumlah uang kurang hingga setengah, maka
nilai uang akan menaik menjadi 2x lipat. Hal ini terjadi, karena bila jumlah
uang naik menjadi 2x lipat maka akan berpengaruh pada harga yang naik dan
otomatis nilai akan menurun menjadi setengahnya.
Suku Bunga
adalah pembayaran bunga tahunan dari suatu pinjaman yang diperoleh dari jumlah
bunga yang diterima tiap tahun dan dibagi dengan jumlah pinjaman.
Suku bunga dinyatakan sebagai
persentase uang pokok per unit waktu. Bunga merupakan suatu ukuran harga sumber
daya yang digunakan oleh debitur yang harus dibayarkan kepada kreditur.
Maka, jika suku bunga naik,
permintaan akan uang turun. Karena suku bunga naik maka orang akan banyak yang
membeli saham atau surat-surat berharga dan sebaliknya. Jika suku bunga naik
maka invetasi turun dan pendapatan nasional turun.
C. Hal-hal yang terjadi saat krisis moneter.
1. Merosotnya nilai tukar rupiah
terhadap dollar AS yang sangat tajam.
2. Faktor utang luar negeri swasta
jangka pendek dan menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang
berat karena tidak tersedia cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo
beserta bunganya, ditambah sistem perbankan nasional yang melemah.
3. Krisis moneter kiriman yang berawal
dari Thailand antara Maret-Juni 1997, yang diserang duluan oleh spekulan dan
kemudian menyebar ke Negara Asia lainnya termasuk Indonesia. Krisis Moneter
yang terjadi sudah saling kait-mengkait di kawasan Asia Timur dan tidak bisa
dipisahkan satu dengan yang lain.
4. Banyaknya kelemahan dalam sistem
perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah
hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam
negeri.
5. Faktor utama yang menyebabkan krisis moneter tahun 1998 yaitu faktor
politik. Pada tahun 1998 krisis ekonomi bercampur kepanikan politik luar biasa
saat rezim Soeharto hendak tumbang. Begitu sulitnya merobohkan bangunan rezim
Soeharto sehingga harus disertai pengorbanan besar berupa kekacauan (chaos)
yang mengakibatkan pemilik modal dan investor kabur dari Indonesia. Pelarian
modal besar-besaran (flight for safety) karena kepanikan politik ini praktis
lebih dahsyat daripada pelarian modal yang dipicu oleh pertimbangan ekonomi
semata (flight for quality). Karena itu, rupiah merosot amat drastis dari level
semula Rp 2.300 per dollar AS (pertengahan 1997) menjadi level terburuk
Rp17.000 per dollar AS (Januari 1998).
6. Kegagalan manajemen makro ekonomi tercermin dari kombinasi nilai tukar yang
kaku dan kebijakan fiskal yang longgar, inflasi yang merupakan hasil dari
apresiasi nilai tukar efektif riil, defisit neraca pembayaran dan pelarian modal.
D. Dampak krisis ekonomi pada
perekonomian Indonesia.
Berbagai dampak Krisis Moneter
timbul di Indonesia. Krisis Moneter membawa dampak yang kurang baik bagi
Indonesia, ini disebabkan karena kurs nilai tukar valas, khususnya dollar AS,
yang melambung tinggi jika dihadapkan dengan pendapatan masyarakat dalam rupiah
tetap. Dampak yang terlihat seperti : Banyak perusahaan yang terpaksa mem-PHK
pekerjanya dengan alasan tidak dapat membayar upah para pekerjanya. Sehingga
menambah angka pengangguran di Indonesia. Pemerintah kesulitan menutup APBN.
Harga barang yang naik cukup tinggi, yang mengakibatkan masyrakat kesulitan
mendapat barang-barang kebutuhan pokoknya. Utang luar negeri dalam rupiah
melonjak. Harga BBM naik.
Kemiskinan juga termasuk dampak
krisis moneter. Pada oktober 1998 jumlah keluarga miskin di perkirakan sekitar
7.5 juta. Meningkatnya jumlah penduduk yang miskin tidak terlepas dari jatuhnya
nilai mata uang rupiah yang tajam, yang menyebabkan terjadinya kesenjangan
antara penghasilan yang berkurang akibat PHK atau naik sedikit dengan
pengeluaran yang meningkat tajam karena tingkat inflasi yang tinggi.
Disaat krisis itu terjadi banyak
pejabat yang melakukan korupsi. Sehingga mengurangi pendapatan para pekerja
yang lain. Banyak perusahaan yang meminjam uang pada perusahaan Negara asing
dengan tingkat bunga yang lumayan tinggi, hal itu menambah beban utang Negara.
Pada sisi lain merosotnya
nilai tukar rupiah juga membawa hikmah. Secara umum impor barang menurun tajam.
Sebaliknya arus masuk turis asing akan lebih besar, daya saing produk dalam
negeri dengan tingkat kandungan impor rendah meningkat sehingga bisa menahan
impor dan merangsang ekspor khususnya yang berbasis pertanian.
Dampak dari krisis moneter lebih
banyak yang negative dibandingkan dampak positifnya. Itu di
karenakan krisis ini mengganggu kesejahteraan masyarakat.
III. KESIMPULAN
1. Krisis moneter yang terjadi di Indonesia
kebanyakan merupakan kiriman dari negara lain dan bukan berasal dari dalam
negeri.
2. Inflasi juga merupakan salah satu faktor
terjadinya krisis tersebut.
3. Dampak yang di
timbulkan berbagai macam dan dampak tersebut kebanyakan membawa pengaruh kurang
baik terhadap Perekonomian Indonesia.
4. Krisis moneter berpengaruh langsung ke rakyat.
Saran
1.
Pemerintah seharusnya mencari solusi yang baik untuk menyelesaikan krisis
tersebut.
2. Pemerintah Negara
juga seharusnya mengurangi utang luar negeri.
DAFTAR PUSAKA
·
Adiningsih,
Sri. 2000. "Perkembangan Moneter Perbankan Indonesia". Makalah
SeminarSehari Kerjasama FE UGM dengan BI, MM UGM, 29 September.
·
Goeltom,
Miranda S. 2000. "Perkembangan Ekonomi Makro Indonesia". Makalah
SeminarSehari Kerjasama FE UGM dengan BI, MM UGM, 29 September
:)
BalasHapus