Perekonomian Indonesia "TUGAS1"
Tugas 1
1. 1. Apa yang dimaksud dengan
Kebijaksanaan Moneter
Jawab : Kebijakan Moneter adalah
suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi makro agar dapat berjalan
sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam
perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar terjadi kestabilan harga dan
inflasi serta terjadinya peningkatan output keseimbangan. Dengan kata
lain,Kebijakan moneter adalah proses di mana pemerintah, bank sentral, atau otoritas
moneter suatu negara kontrol suplai (i) uang, (ii) ketersediaan uang, dan (iii)
biaya uang atau suku bunga untuk mencapai menetapkan tujuan berorientasi pada
pertumbuhan dan stabilitas ekonomi. Kebijakan Moneter bertumpu pada hubungan
antara tingkat bunga dalam suatu perekonomian, yaitu harga di mana uang yang
bisa dipinjam, dan pasokan total uang. Kebijakan moneter menggunakan berbagai
alat untuk mengontrol salah satu atau kedua, untuk mempengaruhi hasil seperti
pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar dengan mata uang lainnya dan
pengangguran.
2.
2. Apa yang dimaksud dengan Kebijaksanaa Fiskal
Jawab : Kebijakan Fiskal
adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mendapatkan
dana-dana dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah untuk membelanjakan
dananya tersebut dalam rangka melaksanakan pembangunan. Atau dengan kata lain,
Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan
kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan
dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk
mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih menekankan pada
pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah. Instrumen kebijakan fiskal adalah
penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak.
3. 3. Terangkan apa maksud Kebijaksanaan Fiskal dengan
moneter di sektor Luar negeri
Jawab : Kebijakan
fiskal dan kebijakan moneter satu sama lain saling berpengaruh dalam kegiatan
perekonomian. Masing – masing variabel kebijakan tersebut, kebijakan fiskal
dipengaruhi oleh dua variabel utama, yaitu pajak (tax) dan pengeluaran
pemerintah (goverment expenditure). Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter
berkaitan erat dengan kegiatan perekonomian empat sektor, dimana sektor –
sektor tersebut diantaranya sektor rumah tangga, sektor perusahaan, sektor
pemerintah dan sektor dunia internasional/luar negeri. Ke-empat sektor ini
memiliki hubungan interaksi masing – masing dalam menciptakan pendapatan dan
pengeluaran. Krisis global saat ini jauh lebih
parah dari perkiraan semula dan suasana ketidakpastiannya sangat tinggi.
Kepercayaan masyarakat dunia terhadap perekonomian menurun tajam. Akibatnya,
gambaran ekonomi dunia terlihat makin suram dari hari ke hari walaupun semua
bank sentral sudah menurunkan suku bunga sampai tingkat yang terendah. Tingkat
bunga yang sedemikian rendahnya itu justru menyebabkan ruang untuk melakukan
kebijakan moneter menjadi terbatas, sehingga pilihan yang tersedia hanya pada
kebijakan fiscal. Menurut Mohamad Ikhsan, (http://majalah.tempointeraktif.com)
negara-negara yang tergabung dalam G-20 dalam komunike bersamanya baru ini-ini
sepakat mendorong lebih cepat ekspansi kebijakan fiskal minimal 2 persen dari
produk domestik bruto untuk memulihkan perekonomian dunia. Meskipun secara
teoretis kebijakan fiskal dapat berfungsi sebagai stimulus perekonomian, dalam
pelaksanaannya sering kali terdapat hambatan. Hambatan ini dirasakan terutama
di negara berkembang. Kebijakan fiskal akan mempengaruhi perekonomian melalui
penerimaan negara dan pengeluaran negara. Disamping pengaruh dari selisih
antara penerimaan dan pengeluaran (defisit atau surplus), perekonomian juga
dipengaruhi oleh jenis sumber penerimaan negara dan bentuk kegiatan yang
dibiayai pengeluaran negara. Di lain sisi,
yang dimaksud dengan pengeluaran negara adalah semua pengeluaran untuk operasi
pemerintah dan pembiayaan berbagai proyek di sektor negara ataupun badan usaha
milik negara. Dengan demikian pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri
tidak termasuk dalam perhitungan pengeluaran negara. Dari perhitungan penerimaan dan pengeluaran negara
tersebut, akan diperoleh besarnya surplus atau defisit APBN. Pada dasarnya
defisit dalam APBN akan menimbulkan efek ekspansi dalam perekonomian . Dalam
hal defisit APBN dibiayai dengan pinjaman luar negeri, maka hal ini tidak
menimbulkan tekanan inflasi jika pinjaman luar negeri tersebut dipergunakan
untuk membeli barang-barang impor, seperti halnya dengan sebagian besar
pinjaman dari CGI selama ini. Akan tetapi bila pinjaman luar negeri tersebut
dipergunakan untuk membeli barang dan jasa di dalam negeri, maka pembiayaan
defisit dengan memakai pinjaman luar negeri tersebut akan menimbulkan tekanan
inflasi. Dilain pihak, pembiayaan defisit APBN dengan penerbitan obligasi
negara akan menambah jumlah uang yang beredar dan akan menimbulkan tekanan
inflasi.Adapun pembiayaan defisit dengan menggunakan sumber dari pinjaman luar
negeri akan berpengaruh pada neraca pembayaran khususnya pada lalu lintas modal
pemerintah . Semakin besar jumlah pinjaman luar negeri yang dapat ditarik, lalu
lintas modal Pemerintah cenderung positif. Adapun kinerja pemerintah dapat
dilihat dari besarnya nilai lalu lintas moneter. Nilai lalu lintas moneter yang
positif menunjukkan adanya cash inflow.
Pada dasarnya, kebijaksanaan moneter
ditujukan agar likuiditas dalam perekonomian berada dalam jumlah yang “tepat”
sehingga dapat melancarkan transaksi perdagangan tanpa menimbulkan tekanan
inflasi. Umumnya pelaksanaan pengaturan jumlah likuiditas dalam perekonomian
ini dilakukan oleh bank sentral, melalui berbagai instrumen , khususnya open
market operations (OMOs).
Dalam melaksanakan OMO, pada umumnya bank
sentral menjual atau membeli obligasi negara jangka panjang. Jika likuiditas
dalam perekonomian dirasakan perlu ditambah, maka bank sentral akan membeli
sejumlah obligasi negara di pasar sekunder, sehingga uang beredar bertambah,
dan dilain pihak bila bank sentral ingin mengurangi likuiditas dalam
perekonomian, bank sentral akan menjual sebagian obligasi negara yang berada
dalam portofolio bank sentral. Perlu difahami bahwa portofolio obligasi negara
di bank sentral tersebut memberikan pendapatan kepada bank sentral berupa bunga
obligasi.
Dalam kasus Indonesia, sampai saat ini Bank
Indonesia belum memiliki obligasi negara yang dapat dipakai untuk OMO. Walaupun
pemerintah Indonesia telah menerbitkan obligasi, yang dimulai pada masa krisis
untuk rekapitalisasi bank-bank yang bermasalah, tetapi pasar sekunder bagi
obligasi negara baru pada tahap awal dan volume transaksi jual beli di pasar
sekunder tersebut masih sedikit. Selama ini Bank Indonesia masih mempergunakan
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk melaksanakan OMOs. Disamping menimbulkan
beban pada Bank Indonesia, karena BI harus membayar bunga SBI yang cukup
tinggi, jangka waktu SBI juga sangat pendek, umumnya 1 (satu) bulan, sehingga
instrumen ini sebenarnya kurang memadai untuk dipakai dalam OMOs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar