KRISIS EKONOMI PENYEBAB DAN USAHA PENANGGULANGANNYA
"Perekonomian Indonesia"
I. Pendahuluan
Sidang Umum MPR bulan Oktober 1999
telah berhasil menetapkan dan melantik KH. Abdurrahman Wahid dan Megawati
Soekarnoputri sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Kemudian
pada waktu itu Presiden Abdurrahman Wahid dengan dibantu oleh Prof. Dr. H. M.
Amien Rais, MA. (Ketua MPR), Ir. Akbar Tandjung (Ketua DPR), dan Jenderal
Wiranto (Menteri Negara Koordinator Bidang Politik dan Keamanan), menyusun
Kabinet Persatuan Nasional yang diharapkan dapat segera memulihkan stabilitas
politik dan perekonomian Indonesia.
Namun dalam perjalanannya, Kabinet Persatuan Nasional
satu per-satu Menterinya lengser/dilengserkan oleh Presiden. Diantaranya
Dr. Hamzah Haz yang baru beberapa bulan menjabat sebagai Menteri Negara
Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan, terpaksa
melengserkan diri. Kemudian disusul oleh Jenderal Wiranto, Ir. Laksamana
Sukardi (Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN)
dan Drs. Yusuf Kalla (Menteri Perindustrian dan Perdagangan).
Untuk memantapkan pemerintahannnya, Presiden
Abdurrahman Wahid menyusun Kabinet baru Pasca Sidang Tahunan MPR 2000. Sejak
terbentuknya susunan Kabinet tersebut sudah dua orang Menteri
berhenti/diberhentikan, yaitu Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid, MA (Meneg
Pendayagunaan Aparatur Negara) dan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH, M.Sc
(Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia).
Namun penggantian Menteri-menteri Kabinet Pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid untuk mengatasi instabilitas politik, instabilitas
keamanan dan krisis ekonomi belum berhasil. Hal ini terbukti dengan belum
terselesaikannya kerusuhan ethnis/agama yang terjadi di Ambon/Maluku Utara.
Juga belum terselesaikannya masalah gerakan separatisme yang ingin memisahkan
diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kerusuhan ethnis yang tercatat lainnya
selama pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid juga terjadi di Poso
(Sulawesi Tengah) dan yang sekarang baru terjadi di Sampit (Kalimantan Tengah).
Kerusuhan ethnis ini telah menimbulkan ribuan korban jiwa meninggal dunia dan
harta benda yang tidak terhingga.
Akibat tidak adanya stabilitas politik dan keamanan di
Indonesia maka usaha untuk mengatasi krisis perekonomian sampai sekarang belum
berhasil. Disadari sepenuhnya bahwa untuk menciptakan stabilitas
politik/keamanan dan stabilitas ekonomi tidak mudah terlaksana apabila
Pemerintah tidak cepat dan sungguh-sungguh mengambil tindakan-tindakan yang
mendukung pulihnya kepercayaan rakyat Indonesia maupun dunia Internasional
kepada Pemerintah, khususnya dalam usaha Pemerintah untuk mengambil tindakan
pembersihan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
II. ISI
Pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid telah berhasil
membawa Bob Hasan ke meja hijau untuk diadili. Di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, Majelis Hakim yang diketuai oleh Subardi, SH menjatuhkan
hukuman untuk Bob Hasan selama dua tahun penjara. Padahal uang yang ditilep
oleh Bob Hasan beratus-ratus juta dollar, antara lain kasus korupsi pemetaan
dan pemotretan areal hak pengusahaan hutan (HPH) melalui udara. Bob Hasan bukan
hanya menilep uang negara tetapi juga mengadakan pengurasan dan pengrusakan
hutan di Kalimantan.
Putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang
memvonis Bob Hasan selama 2 tahun penjara tidak menyentuh rasa keadilan.
Keputusan hakim tersebut betul-betul menghilangkan kepercayaan rakyat terhadap
pemerintah, walaupuan akhirnya Bob Hasan diganjar hukuman 6 tahun penjara
setelah kasasinya ditolak oleh Mahkamah Agung. Itupun dianggap terlalu ringan.
Dengan adanya hal-hal tersebut diatas usaha pemerintah
untuk mengatasi krisis perekonomian di Indonesia akan menghadapi
tantangan-tantangan yang berat. Jika boleh dikatakan akan sangat sulit dicapai
dalam waktu yang singkat.
Tanda-tanda kegagalan dan keterpurukan perekonomian
Indonesia pemerintahan Abdurrahman Wahid terlihat dengan adanya:
1. Defisit
APBN 2001 menurut versi Pemerintah sebesar 3,7 % atau Rp. 53,8 triliyun dari
Produk Domestik Bruto (PDB). Padahal APBN 2001 sampai dengan bulan April 2001
baru berjalan 4 bulan.
2. Total
hutang luar negeri telah melebihi 100 % total Produk Domestik Bruto (PDB)
3.
Jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap US dollar akhir bulan April 2001 hampir
mencapai US $ 1 = Rp. 12.000,-.
4. Daya
beli rakyat menurun, pengangguran mendekati 40 juta orang, lebih 82 juta orang
hidup dibawah garis kemiskinan, indeks harga saham gabungan (IHSG) jatuh dari
677 (Januari 2000) menjadi 416 (Desember 2000), pemulihan ekonomi tidak focus
dan visi pemerintah tidak jelas, program pemulihan ekonomi hanya slogan dan
tidak menyentuh rakyat bawah, Presiden sumber ketegangan (Sumber :
Republika, 6 Januari 2001).
Pada situasi keadaan negara yang multi
krisis seperti inilah, pada tanggal 30 April 2001 DPR-RI mengeluarkan
memorandum II kepada Presiden RI sebagai berikut :
Pertama :
Menyatakan Presiden dalam waktu tiga bulan tidak memperhatikan memorandum I DPR
yang telah disampaikan 1 Februari 2001.
Kedua
: Menyampaikan memorandum II kepada Presiden
sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat 3 Tap MPR No. 3/1978 sebagai kelanjutan
memorandum I DPR tertanggal 1 Februari 2001 yang menganggap Presiden sungguh
melanggar haluan negara yaitu:
a.
Melanggar UUD 1945 Pasal 9 soal sumpah jabatan
b.
Melanggar Tap. MPR. No. XI/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan
bebas KKN.
Ketiga
: Memberikan waktu satu bulan kepada Presiden untuk
mengindahkan Memorandum II sebagaimana dimaksud dalam butir No. 2 .
Jatuhnya Memorandum II tidaklah
semata-mata karena masalah Buloggate dan Bruneigate. Masalah Buloggate dan
Bruneigate hanyalah sebagai pemicu saja. Dikeluarkannya Memorandum II juga
tidak lepas dari perilaku Presiden yang sering memberikan pernyataan-pernyataan
yang kontroversil dan inkonsistensi. Presiden Abdurrahman Wahid juga dinilai
kurang mempunyai sense of crisis seperti sering bepergian ke luar negeri
sedangkan situasi di dalam negeri tidak kondusif seperi adanya konflik
ethnis di Sampit baru-baru ini.
Presiden Gus Dur juga dinilai mempunyai
kebiasaan menyederhanakan persoalan yang penting dan ribut dengan hal-hal
sepele.
Akibat perilaku Gus Dur yang terkesan
otoriter berpengaruh terhadap ketidakstabilan politik/keamanan di dalam negeri
yang selanjutnya menambah keterpurukan perekonomian Indonesia.
Memorandum I dan memorandum II
disepakati DPR dengan semangat yang sama, yaitu hilangnya kepercayaan yang
sangat signifikan terhadap Gus Dur. Presiden Wahid dalam tempo tiga bulan
terakhir tidak berhasil meraup simpati dan dukungan dari fraksi lain
kecuali dari F-KB, basis politiknya. Fraksi TNI/Polri yang kemarin abstain,
tidak bisa dinilai mendukung atau menentang. Seluruh proses dan dinamika politik
selama pemerintahan Presiden Wahid hanya bergerak dalam spectrum yang amat
sempit. Yaitu mempertahankan atau kehilangan kekuasaan. Parlemen muncul sebagai
lembaga yang galak, sedangkan eksekutif terpojok pada posisi defensif. Karena
itu, Pemerintahan Gus Dur kehilangan motivasi untuk mengatasi krisis, yang
justru menjadi kebutuhan utama rakyat. Gus Dur lalu dengan sadar
sesadar-sadarnya mengerahkan seluruh energi untuk menjaga kekuasaan, paling
tidak sampai tahun 2004. (Tajuk Media Indonesia, 1 Mei 2001).
2.1 FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KRISIS EKONOMI
Awal krisis ekonomi yang melanda Indonesia mulai tampak pada pertengahan bulan
Juli 1997 yaitu mulai dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap US dollar.
Nilai tukar rupiah terhadap US dollar pada pertengahan bulan Juli 1997 adalah
US $ 1 = Rp. 3.000,- dari Rp. 2.500,- terus menurun menjadi US $ 1 = Rp.
8.650,- pada tanggal 15 Januari 1998 pernah hampir mencapai US $ 1 = Rp.
17.500,-.
Pada akhir pemerintahan Presiden
Habibie nilai tukar rupiah terhadap US dollar mulai stabil dan menguat
yaitu sebesar US $ 1 = Rp. 6.750,-.
Pada awal pemerintahan Abdurrahman
Wahid kurs rupiah pada bulan Oktober 1999 US $ 1 berkisar di bawah Rp. 7.000,-
dan terus menurun tajam menjadi US $ 1 mendekati Rp. 12.000,- pada akhir
bulan April 2001.
Faktor-faktor penyebab krisis
ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia, antara lain di sebabkan:
Krisis Ekonomi Periode I (Juli 1997 s/d
bulan Oktober 1999).
1. Krisis
kepercayaan terhadap uang rupiah di mana masyarakat lebih mempercayai US
dollar daripada rupiah dan akibatnya mereka berlomba-lomba menukar uang
rupiahnya ke mata uang US dollar. Hal ini disebabkan antara lain kurang
transparansinya pihak pemerintah dalam mengelola keuangan negara. Perlunya
transparansi dalam konteks penggunaan anggaran belanja negara sangat diperlukan
sehingga mendapat kepercayaan dari masyarakat. Kita tidak akan mendapat
kepercayaan bila tida ada transparansi. Lebih cepat tindakan diambil akan lebih
cepat pula kita menuai buah usaha kita.
2. Krisis rupiah yang semula hanya
bersifat kejutan dari luar (external shock) telah meluas menjadi krisis ekonomi
yang berakibat luas, baik terhadap perusahaan maupun rumah tangga. Fondasi
perekonomian Indonesia yang semula dianggap kuat ternyata tidak menunjukkan
ketahanan menghadapi permasalahan akibat krisis nilai rupiah terhadap US
dollar. Dari krisis ini tampak betapa secara struktural modal swasta berskala
besar sangat lemah sebagaimana diperlihatkan oleh besarnya hutang dan lemahnya
daya saing di pasar yang semakin terbuka. Pemerintah pun tidak mempunyai
kewibawaan yang memadai dalam mengatasi krisis ini. Melemahnya
nilai tukar Rupiah terhadap US dollar berdampak luas, karena otoritas moneter
juga melakukan kebijaksanaan uang ketat. Akibatnya, baik pengusaha maupun
rumah-tangga terkena dua-kali pukulan. Pukulan dari melemahnya Rupiah dan
pukulan akibat langkanya Rupiah.
3. Akibat Peraturan Pemerintah yang
dikenal dengan Paket Oktober 1988 yang memungkinkan seseorang dengan modal Rp.
10.000.000.000,- dapat mendirikan bank berdampak buruk akibat kurang pengawasan
dari Bank Indonesia. Bank Indonesia tidak atau terlambat
men-deteksi pelanggaran yang dilakukan oleh bank-bank Swasta. Hal ini
disebabkan karena ketidak-siapan aparat dan sistim dalam mengawasi ratusan bank
yang bermunculan dengan cepat. Bank Indonesia kemungkinan tak berani
mengambil tindakan tegas karena pemiliknya punya akses kuat kepada kekuasaan.
Di samping itu bank swasta banyak menyelewengkan dana-dana yang diterima
dari Bank Indonesia maupun dana-dana yang diterima dari masyarakat. Bank
swasta banyak melakukan pelanggaran antara lain dengan menyalurkan kredit bank
kepada grupnya sendiri atau anak perusahaan dari pemilik bank itu sendiri,
antara lain disalurkan kepada usaha Real-Estate (perumahan mewah), pembangunan
gedung-gedung bertingkat mewah, mendirikan super-market dan lain sebagainya
yang tidak menyentuh kepentingan masyarakat banyak, akibatnya penyalahgunaan
kredit yang sebagian besar digunakan untuk kepentingan pribadi dan ada juga
yang di investasikan di luar negeri akhirnya bank swasta tersebut tidak mampu
mengangsur cicilan kreditnya kepada bank penyalur kredit cq Bank Pemerintah/BI.
Untuk mengatasi hal tersebut Pemerintah atas desakan IMF sebagai pra-syarat
bantuan IMF kepada Indonesia, Pemerintah Indonesia telah melikuidasi 16 bank
swasta. Pemerintah Indonesia juga melakukan merger di antara
bank-bank Pemerintah sendiri agar bank Pemerintah bertambah kuat dan solid.
4. Hutang luar negeri swasta berjangka pendek
yang akan jatuh tempo pada bulan Maret 1998, telah mencapai US$. 9,6 milyard,
meliputi hutang pokok dan pinjaman. Posisi hutang luar negeri yang ditanggung
oleh perusahaan swasta itu merupakan bagian hutang luar negeri swasta sebesar
US$ 65 milyard dari total pinjaman luar negeri Indonesia sebesar US$ 117,3
milyard per September 1997. Jadi sekitar 50% atau US$ 32,5 milyard hutang
swasta dikategorikan hutang berjangka pendek, termasuk surat berharga
komersial. Diperkirakan, hutang swasta yang jatuh tempo rata-rata
mencapai US$ 2,708 milyard per bulan, jumlah yang tentunya sangat membebani
neraca pembayaran hutang ini jugalah yang menyebabkan kelangkaan Dollar.
Perkembangannya bukan lagi apakah pinjaman swasta tersebut berjangka pendek,
menengah atau panjang. Namun Bank Indonesia harus mendapat kepastian
seberapa banyak sektor swasta akan segera memenuhi hutang luar negerinya.
Kewaspadaan terhadap pinjaman komersial luar negeri sektor swasta penting
dilakukan, minimal menyangkut dua hal. Pertama, adanya kecenderungan yang terus
meningkat dalam dua tahun terakhir dan kedua adanya kekurangan data dari
Pemerintah dalam mendapatkan angka jumlah hutang sektor swasta. Bahkan
diperkirakan merosotnya nilai tukar Rupiah antara lain disebabkan oleh terus
membengkaknya hutang luar negeri yang ditanggung swasta, sehingga begitu
kewajiban untuk membayar hutang luar negeri yang jatuh tempo, sementara pada
saat yang sama kondisi moneter di dalam negeri sedang kacau, maka kesulitan
langsung membelit mereka (AD.Uphadi Media Indonesia, 4 Desember
1997).Disarankan untuk menanggulangi hutang luar negeri swasta agar
diselesaikan oleh mereka sendiri. Pemerintah hanya sekedar memantau
saja.
5. Adanya kolusi antara Bank
Indonesia dengan para pemilik Bank swasta dalam hal pemberian dana segar kepada
pemilik bank swasta yang berlebih-lebihan tanpa memperhitungkan bank swasta itu
sehat atau tidak menambah meningkatnya krisis ekonomi dan krisis kepercayaan.
Seyogyanya kasus Bapindo (Bank Pembangunan Indonesia) yang dikenal dengan kasus
Edy Tamsil menjadi pelajaran yang pahit agar tidak terulang malah korupsi model
Edy Tamsil dikembangkan semakin canggih oleh para koruptor di dunia perbankan.
Krisis perekonomian Indonesia lebih diperparah dengan diberikannya dana Bantuan
Likuidasi Bank Indonesia (BLBI) terhadap bank-bank swasta yang kental dengan
aroma KKN.
6 Adanya
pelarian modal investasi khususnya yang berasal dari dana BLBI
dalam
bentuk US dollar oleh para konglomerat Indonesia ke luar negeri juga menambah
memperburuk-nya perekonomian Indonesia.
7 Menurunnya
nilai mata-uang Asia terhadap US dollar sekitar bulan Juli 1997 sampai dengan
bulan Desember 1997 seperti Baht Thayland, Won Korea Selatan, Ringgit Malaysia,
Peso Philippina, Dollar Taiwan, Dollar Singapore, Rupee India, turut-serta
secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi nilai tukar Rupiah terhadap
US dollar.
Krisis Ekonomi Periode ke II (Oktober 1999
s/d sekarang)
1. Pernyataan Presiden
Abdurrahman Wahid bahwa apabila Memorandum II dikeluarkan akan
terjadi “pemberontakkan nasional” dan bahwa lima daerah akan merdeka
termasuk Madura, serta bangsa Indonesia akan pecah apabila dirinya mengundurkan
diri/berhenti sebagai Presiden. Pernyataan ini menimbulkan rasa ketakutan dari
para pelaku bisnis dan masyarakat akibatnya nilai kurs rupiah terhadap US
dollar menurun tajam mendekati US $ 1 = Rp. 12.000,-
2. Pemerintah terkesan
ragu-ragu memberantas KKN, khususnya kepada para konglomerat penerima dana BLBI
yang sampai sekarang belum diambil tindakan-tindakan kepada Marimuntu Sinivasan
(Group Texmaco), Syamsul Nursalim dan Prajogo Pangestu. Padahal
bukti-bukti yang bersangkutan merugikan keuangan negara sudah jelas. Alih-alih
merasa bersalah malah ada dari anak perusahaan yang bersangkutan mengajukan
kredit tambahan modal kepada bank pemerintah dengan alasan agar perusahaannya
tetap jalan dan ribuan karyawannya dapat tetap bekerja. Rupanya korupsi model
Edy Tamsil betul-betul di manfaatkan untuk mengeruk uang Negara melalui perbankan
.
3. Hasil Audit Badan
Pemeriksaan Keuangan (BPK) terhadap penggunaan APBN Tahun Angaran 2000. Lembaga
ini menemukan penyelewengan dana senilai Rp. 8,5 triliun dengan 925
penyimpangan. Dan pada tahun anggaran sebelumnya ditemukan penyelewengan
senilai Rp. 3,87 triliun dengan 834 penyimpangan Yang lebih mengejutkan lagi
dari Audit BPK Tahun Anggaran 2000 penyimpangan di Sekretariat. Negara dan
Sekretariat Kepresidenan masing-masing sebesar 50,82 % dan 57,93 %. Sementara
di Departemen Kehakiman dan HAM sebesar 57,01 %. Ini sungguh luar
biasa. Lembaga-lembaga yang mestinya memberi contoh efisiensi ternyata telah
menjadi kampiun dalam penyimpangan uang negara. (Sumber: Media Indonesia, 23
Februari 2001). Hal ini menambah ketidakpercayaan rakyat terhadap
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.
4. KKN belum sepenuhnya
diberantas dan malah sekarang terkesan tambah meningkat dan menjamur.
5. Stabilitas politik
dan keamanan yang tidak kondusif akibat hubungan eksekutif dan legislatif
memburuk, adanya gerakan-gerakan separatis (GAM), OPM, Front Kedaulatan Maluku
(RMS), konflik antar suku masih berlanjut, kriminalitas melonjak, orang
makin sadis, pro dan kontra presiden Gus Dur kian sengit, hubungan dengan IMF
tersendat, investor berlarian ke negara lain, hal-hal ini lebih memperparah
keterpurukan perekonomian Indonesia.
6. Menurunnya legitimasi
Pemerintahan Gus Dur.
7. Kita mendukung
usaha-usaha Gus Dur untuk memberantas KKN terhadap mantan pejabat-pejabat
negara masa Orde Baru asal fair dan cukup bukti untuk segera diperiksa dan di
diadili di Pengadilan Negeri. Akan lebih arif apabila Pemerintahan Gus Dur
memberikan prioritas utama menangkap dan menyeret ke Pengadilan para pelaku
koruptor penerima dana BLBI dan para pejabat Bank atau siapa saja yang terkait
dan terbukti melakukan KKN dalam penyaluran dana BLBI. Tapi kenyataannya
alih-alih para tersangka BLBI dihadapkan ke Pengadilan malah para tersangka
tersebut dilepas dan dijadikan tahanan rumah yaitu antara lain mantan Preskom
Bank Moderen Samadikun Hartono dan mantan Presdir Bank Umum Nasional Kaharuddin
Ongko.
Sedang tersangka korupsi lain seperti Faisal Abda’oe,
David Nusa Wijaya, Syamsul Nursalim, Heru Soeprapto, Hendro Budiyanto,
Samadikun Hartono, Kaharuddin Ongko, dan Praptono H Tjitroupoyo juga dilepas
dari tahanan Kejaksaan Agung. Tersangka korupsi Syamsul Nursalim sekarang
ditahan dirumah sakit Medistra karena alasan sakit. Diketahui yang
bersangkutan setiap jam 03.00 WIB. malam keluar keluyuran meninggalkan rumah
sakit.
Hal-hal yang seperti inilah menambah ketidak percayaan
rakyat terhadap Pemerintah atas kesungguhan Pemerintah memberantas KKN.
Seakan-akan para konglomerat tersebut kebal hukum padahal mereka nyata-nyata
merugikan keuangan negara.
Jangan dikira cara-cara Kejaksaan Agung dalam mengusut
para tersangka KKN tidak dipantau oleh negara-negara donor.
Ketidak mampuan pihak Kejaksaan Agung dalam
menuntaskan pemberantasan KKN, turut memberikan andil kepada ketidakpercayaan
lembaga-lembaga keuangan Internasioanl seperti IMF menunda mencairkan
bantuannya kepada Indonesia.
2.2 4 Penyebab Krisis Ekonomi Indonesia tahun
1997-1998 :
1. Yang pertama, stok hutang luar negeri swasta yang sangat
besar dan umumnya berjangka pendek, telah menciptakan kondisi bagi “ketidakstabilan”.
Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang berlebihan, bahkan cenderung
mengabaikan, dari para menteri di bidang ekonomi maupun masyarakat perbankan
sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut. Pemerintah
selama ini selalu ekstra hati-hati dalam mengelola hutang pemerintah (atau
hutang publik lainnya), dan senantiasa menjaganya dalam batas-batas yang dapat
tertangani (manageable). Akan tetapi untuk hutang yang dibuat oleh
sektor swasta Indonesia, pemerintah sama sekali tidak memiliki mekanisme
pengawasan. Setelah krisis berlangsung, barulah disadari bahwa hutang swasta
tersebut benar -benar menjadi masalah yang serius. Antara tahun 1992 sampai
dengan bulan Juli 1997, 85% dari penambahan hutang luar negeri Indonesia berasal
dari pinjaman swasta (World Bank, 1998). Hal ini mirip dengan yang terjadi di
negara-negara lain di Asia yang dilanda krisis. Dalam banyak hal, boleh
dikatakan bahwa negara telah menjadi korban dari keberhasilannya sendiri. Mengapa
demikian? Karena kreditur asing tentu bersemangat meminjamkan modalnya kepada
perusahaan-perusahaan (swasta) di negara yang memiliki inflasi rendah, memiliki
surplus anggaran, mempunyai tenaga kerja terdidik dalam jumlah besar, memiliki
sarana dan prasarana yang memadai, dan menjalankan sistem perdagangan terbuka.
Daya tarik dari “dynamic economies’” ini telah menyebabkan net capital inflows atau arus modal masuk (yang meliputi hutang jangka panjang, penanaman modal asing, dan equity purchases) ke wilayah Asia Pasifik meningkat dari US$25 milyar pada tahun 1990 menjadi lebih dari US$110 milyar pada tahun 1996 (Greenspan 1997). Sayangnya, banyaknya modal yang masuk tersebut tidak cukup dimanfaatkan untuk sektor-sektor yang produktif, seperti pertanian atau industri, tetapi justru masuk ke pembiayaan konsumsi, pasar modal, dan khusus bagi Indonesia dan Thailand, ke sektor perumahan (real estate). Di sektor-sektor ini memang terjadi ledakan (boom) karena sebagian dipengaruhi oleh arus modal masuk tadi, tetapi sebaliknya kinerja ekspor yang selama ini menjadi andalan ekonomi
nasional justru mengalami perlambatan, akibat apresiasi nilai tukar yang terjadi, antara lain, karena derasnya arus modal yang masuk itu.
Selain itu, hutang swasta tersebut banyak yang tidak dilandasi oleh kelayakan ekonomi, tetapi lebih mengandalkan koneksi politik, dan seakan didukung oleh persepsi bahwa negara akan ikut menanggung biaya apabila kelak terjadi kegagalan. Lembaga keuangan membuat pinjaman atas dasar perhitungan aset yang telah “digelembungkan” yang pada gilirannya mendorong lagi terjadinya apresiasi lebih lanjut (Kelly and Olds 1999). Ini adalah akibat dari sistem yang sering disebut sebagai “crony capitalism”. Moral hazard dan penggelembungan aset tersebut, seperti dijelaskan oleh Krugman (1998), adalah suatu strategi “kalau untung aku yang ambil, kalau rugi bukan aku yang tanggung (heads I win tails somebody else loses)”. Di tengah pusaran (virtous circle) yang semakin hari makin membesar ini, lembaga keuangan meminjam US dollar, tetapi menyalurkan pinjamannya dalam kurs lokal (Radelet and Sachs 1998). Yang ikut memperburuk keadaan adalah batas waktu pinjaman (maturity) hutang swasta tersebut rata-rata makin pendek. Pada saat krisis terjadi, rata-rata batas waktu pinjaman sektor swasta adalah 18 bulan, dan menjelang Desember 1997 jumlah hutang yang harus dilunasi dalam tempo kurang dari satu tahun adalah sebesar US$20,7 milyar (World Bank 1998).
2. Yang kedua, dan terkait erat dengan masalah di atas, adalah banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri. Ketika liberalisasi sistem perbankan diberlakukan pada pertengahan tahun 1980-an, mekanisme pengendalian dan pengawasan dari pemerintah tidak efektif dan tidak mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor perbankan. Yang lebih parah, hampir tidak ada penegakan hukum terhadap bank-bank yang melanggar ketentuan, khususnya dalam kasus peminjaman ke kelompok bisnisnya sendiri, konsentrasi pinjaman pada pihak tertentu, dan pelanggaran kriteria layak kredit. Pada waktu yang bersamaan banyak sekali bank yang sesunguhnya tidak bermodal cukup (undercapitalized) atau kekurangan modal, tetapi tetap dibiarkan beroperasi. Semua ini berarti, ketika nilai rupiah mulai terdepresiasi, sistem perbankan tidak mampu menempatkan dirinya sebagai “peredam kerusakan”, tetapi justru menjadi korban langsung akibat neracanya yang tidak sehat.
3. Yang ketiga, sejalan dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula. Hill (1999) menulis bahwa banyaknya pihak yang memiliki vested interest dengan intrik-intrik politiknya yang menyebar ke mana-mana telah menghambat atau menghalangi gerak pemerintah, untuk mengambil tindakan tegas di tengah krisis. Jauh sebelum krisis terjadi, investor asing dan pelaku bisnis yang bergerak di Indonesia selalu mengeluhkan kurangnya transparansi, dan lemahnya perlindungan maupun kepastian hukum. Persoalan ini sering dikaitkan dengan tingginya “biaya siluman” yang harus dikeluarkan bila orang melakukan kegiatan bisnis di sini. Anehnya, selama Indonesia menikmati economic boom persepsi negatif tersebut tidak terlalu menghambat ekonomi Indonesia. Akan tetapi begitu krisis menghantam, maka segala kelemahan itu muncul menjadi penghalang bagi pemerintah untuk mampu mengendalikan krisis. Masalah ini pulalah yang mengurangi kemampuan kelembagaan pemerintah untuk bertindak cepat, adil, dan efektif. Akhirnya semua itu berkembang menjadi “krisis kepercayaan” yang ternyata menjadi penyebab paling utama dari segala masalah ekonomi yang dihadapi pada waktu itu. Akibat krisis kepercayaan itu, modal yang dibawa lari ke luar tidak kunjung kembali, apalagi modal baru.
4. Yang keempat, perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri
Daya tarik dari “dynamic economies’” ini telah menyebabkan net capital inflows atau arus modal masuk (yang meliputi hutang jangka panjang, penanaman modal asing, dan equity purchases) ke wilayah Asia Pasifik meningkat dari US$25 milyar pada tahun 1990 menjadi lebih dari US$110 milyar pada tahun 1996 (Greenspan 1997). Sayangnya, banyaknya modal yang masuk tersebut tidak cukup dimanfaatkan untuk sektor-sektor yang produktif, seperti pertanian atau industri, tetapi justru masuk ke pembiayaan konsumsi, pasar modal, dan khusus bagi Indonesia dan Thailand, ke sektor perumahan (real estate). Di sektor-sektor ini memang terjadi ledakan (boom) karena sebagian dipengaruhi oleh arus modal masuk tadi, tetapi sebaliknya kinerja ekspor yang selama ini menjadi andalan ekonomi
nasional justru mengalami perlambatan, akibat apresiasi nilai tukar yang terjadi, antara lain, karena derasnya arus modal yang masuk itu.
Selain itu, hutang swasta tersebut banyak yang tidak dilandasi oleh kelayakan ekonomi, tetapi lebih mengandalkan koneksi politik, dan seakan didukung oleh persepsi bahwa negara akan ikut menanggung biaya apabila kelak terjadi kegagalan. Lembaga keuangan membuat pinjaman atas dasar perhitungan aset yang telah “digelembungkan” yang pada gilirannya mendorong lagi terjadinya apresiasi lebih lanjut (Kelly and Olds 1999). Ini adalah akibat dari sistem yang sering disebut sebagai “crony capitalism”. Moral hazard dan penggelembungan aset tersebut, seperti dijelaskan oleh Krugman (1998), adalah suatu strategi “kalau untung aku yang ambil, kalau rugi bukan aku yang tanggung (heads I win tails somebody else loses)”. Di tengah pusaran (virtous circle) yang semakin hari makin membesar ini, lembaga keuangan meminjam US dollar, tetapi menyalurkan pinjamannya dalam kurs lokal (Radelet and Sachs 1998). Yang ikut memperburuk keadaan adalah batas waktu pinjaman (maturity) hutang swasta tersebut rata-rata makin pendek. Pada saat krisis terjadi, rata-rata batas waktu pinjaman sektor swasta adalah 18 bulan, dan menjelang Desember 1997 jumlah hutang yang harus dilunasi dalam tempo kurang dari satu tahun adalah sebesar US$20,7 milyar (World Bank 1998).
2. Yang kedua, dan terkait erat dengan masalah di atas, adalah banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri. Ketika liberalisasi sistem perbankan diberlakukan pada pertengahan tahun 1980-an, mekanisme pengendalian dan pengawasan dari pemerintah tidak efektif dan tidak mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor perbankan. Yang lebih parah, hampir tidak ada penegakan hukum terhadap bank-bank yang melanggar ketentuan, khususnya dalam kasus peminjaman ke kelompok bisnisnya sendiri, konsentrasi pinjaman pada pihak tertentu, dan pelanggaran kriteria layak kredit. Pada waktu yang bersamaan banyak sekali bank yang sesunguhnya tidak bermodal cukup (undercapitalized) atau kekurangan modal, tetapi tetap dibiarkan beroperasi. Semua ini berarti, ketika nilai rupiah mulai terdepresiasi, sistem perbankan tidak mampu menempatkan dirinya sebagai “peredam kerusakan”, tetapi justru menjadi korban langsung akibat neracanya yang tidak sehat.
3. Yang ketiga, sejalan dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula. Hill (1999) menulis bahwa banyaknya pihak yang memiliki vested interest dengan intrik-intrik politiknya yang menyebar ke mana-mana telah menghambat atau menghalangi gerak pemerintah, untuk mengambil tindakan tegas di tengah krisis. Jauh sebelum krisis terjadi, investor asing dan pelaku bisnis yang bergerak di Indonesia selalu mengeluhkan kurangnya transparansi, dan lemahnya perlindungan maupun kepastian hukum. Persoalan ini sering dikaitkan dengan tingginya “biaya siluman” yang harus dikeluarkan bila orang melakukan kegiatan bisnis di sini. Anehnya, selama Indonesia menikmati economic boom persepsi negatif tersebut tidak terlalu menghambat ekonomi Indonesia. Akan tetapi begitu krisis menghantam, maka segala kelemahan itu muncul menjadi penghalang bagi pemerintah untuk mampu mengendalikan krisis. Masalah ini pulalah yang mengurangi kemampuan kelembagaan pemerintah untuk bertindak cepat, adil, dan efektif. Akhirnya semua itu berkembang menjadi “krisis kepercayaan” yang ternyata menjadi penyebab paling utama dari segala masalah ekonomi yang dihadapi pada waktu itu. Akibat krisis kepercayaan itu, modal yang dibawa lari ke luar tidak kunjung kembali, apalagi modal baru.
4. Yang keempat, perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri
2.3 USAHA-USAHA MENGATASI KRISIS EKONOMI
1. Transparansi Pemerintah dalam konteks
penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sangat diperlukan agar
mendapat kepercayaan masyarakat.
2.
Meningkatkan accountability pengelolaan sumber-sumber pendanaan termasuk dana
di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
3.
Meningkatkan export non-migas dan membatasi habis-habisan import barang-barang
konsumtif termasuk mobil-mobil mewah yang sekarang ini malah diijinkan untuk di
import. Hal ini seyogyanya dilarang.
4.
Pemerintah harus berusaha mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada mata uang
Rupiah dan kepercayaan kepada bank-bank swasta yang dikelola dengan baik. Hal
ini memang tidak mudah tetapi harus dimulai selangkah demi selangkah.
5.
Tabungan Nasional harus digalakkan dan semua pihak harus mengetatkan ikat
pingang khususnya kepada para pejabat Negara/pejabat Aparatur Pemerintah agar
mempunyai rasa keprihatinan atas situasi multi krisis yang dihadapi bangsa dan
Negara Indonesia dewasa ini. Hindarilah pemikiran mumpungisme di kalangan para
pejabat Pemerintah. Utamakanlah kepentingan bangsa dan Negara daripada
kepentingan pribadi atau golongan.
6.
Pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia seyogyanya memonitor dan mengawasi
secara ketat Bank-bank Swasta agar tidak melakukan kecurangan-kecurangan dalam
mengelola dana-dana yang diterima, baik dari Pemerintah maupun dari Masyarakat.
7.
Indonesia dengan jumlah penduduk lebih 200 juta orang, rakyatnya lebih
memerlukan terpenuhinya sandang pangan untuk keperluan sehari-hari dari pada
barang-barang import untuk keperluan konsumtif. Seyogyanya Pemerintah Indonesia
mengatasi krisis ekonomi dewasa ini lebih meningkatkan hasil produksi
pertanian, perkebunan, dan peternakan rakyat dengan jalan memberikan subsidi
atau kredit langsung kepada pengusaha kecil maupun penyalurannya melalui
Koperasi Unit Desa (KUD). Tidak sebaliknya disalurkan kepada para pengusaha
besar / konglomerat yang selalu mempunyai masalah kredit macet. Apabila hal ini
dilakukan berarti Pemerintah turut serta memperkokoh fondasi perekonomian yang
langsung menyentuh kepentingan sebagian besar penduduk Indonesia. Pada masa
orde baru umumnya kredit Pemerintah diberikan kepada hanya segelintir pengusaha
besar (konglomerat) yang pada umumnya kredit itu dipergunakan untuk kepentingan
kelompok/group perusahaannya sendiri ( termasuk hutangnya dari luar negeri )
yang umumnya dipergunakan untuk membangun hotel-hotel bintang lima,
tourism-resort, mall/supermaket, gedung-gedung apartemen mewah,
perumahan-perumahan mewah, pembangunan lapangan-lapangan golf dan lain
sebagainya. Kesemua pembangunan tersebut samasekali tidak menyentuh kepentingan
rakyat banyak. Krisis moneter antara lain diakibatkan oleh besarnya
hutang-hutang luar negeri swasta tersebut, dampaknya berakibat menimbulkan
penderitaan rakyat Indonesia. Hal ini seyogyanya jangan terjadi lagi karena
lebih dari 90 % rakyat Indonesia tidak membutuhkan mata uang dollar untuk
keperluan hidup sehari-hari.
8.
Indonesia adalah negara kepulauan, karena itu seyogyanya Pemerintah
menggalakkan pembangunan kapal-kapal inter-insuler (antar pulau) dari pada
membangun industri pesawat terbang dan proyek-proyek mercusuar lainnya yang
tidak menyentuh kepentingan rakyat banyak.
9.
Proyek-proyek pembangunan yang menyentuh kepentingan rakyat banyak seperti pembangunan
pabrik semen, pabrik textil, makanan, farmasi, listrik dan tilpun masuk desa,
irigasi dan lain sebagainya agar terus dilanjutkan.
10. Untuk mengatasi masalah
perbankan nasional, merger bank adalah jalan terbaik. Kemelut yang dihadapi
perbankan nasional saat ini lebih baik dihadapi dengan merger daripada dengan
penurunan rasio kecukupan modal (CAR = Capital Adequate Ratio). Sebab apabila
dilakukan pelanggaran CAR hanyalah untuk kepentingan sesaat yang berakibat bank
kurang kompetitif disamping memunculkan spekulasi rekap kedua.
11. Peringatan IMF atas bahaya
defisit APBN harus dicermati secara seksama. Konsep Pemerintah untuk mengambil
langkah-langkah dalam mengatasi defisit APBN 2001 antara lain: Peningkatan PPh
antara Rp. 20-30 T, Penarikan dana perimbangan antara Rp. 10-20 T,
Pencabutan subsidi BBM Rp. 5 T, Penggenjotan pemasukan dari BUMN dan BPPN
sebesar Rp. 33 T, dan Penurunan porsi pembiayaan proyek pemerintah
sebesar Rp. 19 T. Langkah-langkah ini apabila berhasil
dilakukan Pemerintah dapat menekan defisit anggaran walaupun bersifat sementara
.
12. Bank Indonesia dan bank-bank
Pemerintah lainnya hendaknya selektif dan ekstra hati-hati dalam menyalurkan
kredit/penambahan modal kepada para pengusaha/konglomerat. Apalagi kalau
jelas-jelas diketahui bahwa para pengusaha/konglomerat tersebut bermasalah dan
diduga turut serta terlibat dalam penyalahgunaan dana BLBI. Bank
Indonesia/bank Pemerintah harus bertanggung jawab atas penyaluran kredit.
Apabila ada indikasi penyalahgunaan kredit bank (kredit macet) maka ke
dua pihak baik penyalur maupun penerima kredit ke dua-duanya harus ditindak
tegas sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
13. Pemerintah hendaknya
bertindak lebih tegas terhadap oknum-oknum pejabat dan para pelaku bisnis
apabila mereka terbukti melakukan korupsi terhadap keuangan negara,
pengadilan hendaknya tidak ragu-ragu memberikan hukuman yang
seberat-beratnya, termasuk hukuman seumur hidup atau hukuman mati kepada para
pelaku mega korupsi. Hukuman mati kepada pelaku mega korupsi diperlukan sebagai
shock terapi dalam mengatasi masalah korupsi yang sekarang menjamur di
Indonesia. Sumber dari krisis ekonomi yang berkepanjangan adalah diakibatkan
karena pemerintah sampai saat ini belum berhasil membersihkan KKN.
14. Seyogyanya Pemerintah RI dalam
menyusun program pembangunan perekonomian Indonesia selalu mengacu pada Pasal
33 Undang-Undang Dasar 1945. “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat” (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945), bukan sebaliknya untuk kepentingan para
pengusaha. Disamping itu dalam rangka Otonomi Daerah Pemerintah Pusat hendaknya
melakukan pengawasan yang ketat terhadap Pemerintah Daerah agar pengelolaan
sumber-sumber kekayaan alam yang terdapat di Daerahnya tidak dirusak dan
dikuras oleh para pengusaha. Contoh: Adanya keinginan dari Pemda Propinsi
Kalimantan Selatan untuk menjadikan Hutan Lindung Pegunungan Meratus sebagai
Hutan Produksi Terbatas. Apabila hal ini dilakukan mempunyai dampak lingkungan
yang luas ( Ecological Disaster ) selain menimbulkan kerusakan hutan juga akan
menimbulkan banjir besar pada musim hujan di daerah sekitarnya, termasuk banjir
besar di sungai Barito Kalimantan Selatan
III. KESIMPULAN
Setelah mengetahui faktor-faktor
penyebab krisis ekonomi dan usaha-usaha penanggulangannya dapat ditarik
kesimpulan bahwa penyebab utama adanya krisis ekonomi berkaitan erat
dengan :
1.
Instabilitas politik antara lain akibat adanya konflik antara lembaga
eksekutif (Presiden) dengan lembaga legislatif (DPR-RI), yang
akhirnya menimbulkan krisis konstitusi dan ketegangan politik di
masyarakat luas.
2.
Instabilitas keamanan antara lain akibat adanya konflik bernuansa sara di
Ambon/ Maluku, Poso dan Sampit., adanya gerakan separatisme GAM dan OPM serta
meningkatnya perbuatan kriminalitas yang makin sadis. Hal ini sangat mengganggu
keamanan dan ketertiban masyarakat.
3.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme adalah penyebab utama timbulnya krisis ekonomi
yang berkepanjangan. Sampai sekarang aparat Kejaksaan Agung belum berhasil
menuntaskan kasus korupsi penyalahgunaan dana BLBI. Hasil pemeriksaan BPK tahun
Anggaran 2000 di Departemen-departemen dan lembaga-lembaga pemerintah termasuk
di Bank Indonesia menunjukkan kecenderungan peningkatan penyalahgunaan
penggunaan keuangan negara oleh oknum-oknum Pejabat/Aparatur Pemerintah.
Solusi Yang Ditawarkan Untuk Mengatasi
Ketiga Faktor Utama Penyebab Krisis Ekonomi Tersebut Antara Lain :
1. Segera
menciptakan stabilitas politik dengan menggelar Sidang Istimewa MPR untuk
menyelesaikan krisis politik/krisis konstitusi. Sidang Istimewa MPR ini dapat
digelar kapan saja sesuai dengan UUD 1945 Pasal 2 ayat 2. Penyelesaian krisis
politik dengan jalan pembagian kekuasaan (power sharing), percepatan Pemilu,
Dekrit Presiden atau pernyataan Negara dalam keadaan darurat tidak akan
menyelesaikan masalah, malah akan menimbulkan krisis politik baru yang semakin
parah dan berkepanjangan yang tentunya akan menambah pula keterpurukan
perekonomian Indonesia.
2.
Pemerintah segera menciptakan stabilitas keamanan dengan tindakan-tindakan
tegas dan arif khususnya dalam menyelesaikan konflik yang bernuansa sara.
Segera menetralisir gerakan-gerakan separatisme agar tetap berada dalam
pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Mega
korupsi yang dilakukan para konglomerat yang bekerja sama dengan oknum-oknum
Pejabat Negara khususnya didunia perbankan adalah akar dari segala akar
keterpurukan perekonomian Indonesia dewasa ini. Semua bentuk korupsi di Negara
Indonesia harus diberantas. Siapapun yang memimpin Pemerintahaan di Indonesia
selama KKN masih merajalela keterpurukan perekonomian Indonesia sulit
disembuhkan. KKN merupakan penyakit kanker yang menggerogoti segala aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk memberantas perbuatan tindak pidana
korupsi perlu dipikirkan agar pemerintah segera membentuk suatu Komisi Nasional
semacam Komisi Nasional HAM khusus untuk menangani masalah perbuatan tindak
pidana Korupsi berat. Komisi Nasional ini hendaknya diberikan wewenang hak
examinasi untuk mengawasi para penegak hukum di bidang Kepolisian dan Kejaksaan
dalam mereka menjalankan tugas dan kewajibannya ditingkat penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan. Komisi Nasional ini juga diharapkan berperan sebagai
semacam lembaga examinasi / yudical review setiap keputusan penegak hukum dalam
perkara korupsi berat ditingkat penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Apakah
SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyelidikan) yang dibuat oleh penegak hukum
dimaksud sudah proposional atau tidak. Jika keputusan-keputusan SP3 dimaksud
terbukti mengandung KKN maka pihak penegak hukum yang mengeluarkan SP3
seyogyanya dihadapkan kepengadilan. Hal ini perlu untuk mendaya-gunakan UU No.
31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi khususnya tentang
Peran serta Masyarakat untuk membantu Pemerintah dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi (Pasal 41 UU No. 31 tahun 1999).
Semoga penulisan artikel ini dapat
bermanfaat sebagai wacana dan sumbangan pemikiran kepada Pemerintah untuk
mengatasi krisis ekonomi. Bangsa Indonesia ini sudah cukup lama menderita
akibat ulah oknum-oknum koruptor yang tidak bertanggung jawab yang menjarah
kekayaan bangsa Indonesia baik berupa penjarahan keuangan negara diperbankan
maupun pengurasan dan pengrusakan kekayaan alam Indonesia. Diharapkan Sidang
Istimewa MPR mendatang dapat menghasilkan ketetapan-ketetapan/keputusan yang
arif dan bijaksana untuk mengatasi instabilitas politik, instabilitas keamanan
dan krisis ekonomi serta akar-akar penyebabnya.
Daftar Pusaka
- http://putracenter.net/2009/02/10/4-penyebab-krisis-ekonomi-indonesia-tahun-1997-1998-apakah-akan-terulang-pada-krisis-ekonomi-sekarang/
- Penulis adalah Alumnus Fakultas Sospol, Jurusan Hubungan Internasional, UGM, tahun 1970, MBA, Pacific Western University, Hawaii. Ph. D. dalam Ilmu Hubungan Internasional, Pacific Western University, Hawaii, tahun 1997, Sesparlu 1994, Maequarie Uniersity, 1994 (Finance Management) ,U.N. Asean Development Institute Bangkok 1977 (Asean
Tidak ada komentar:
Posting Komentar